Di bibir pintu coffee
shop, aku bertemu masa lalu, bertemu ia yang dulu memaksaku menukar
cangkir-cangkir kopi ini dengan air mineral yang selalu ia bawa, malam itu
berharap kacamataku patah jadi dua. Aku terpaku apakah harus menyapanya atau
langsung masuk saja ke dalam, berharap kami tidak pernah saling mengenal
sebelumnya. Namun belum sempat aku memutuskan harus bertindak apa, ia sudah
menyapaku sambil tersenyum.
“Hai, sendirian?”
“Emm iya.” jawabku dengan nadi yang nyaris tak berdetak.
“Sudah lama?”
Aku menatapnya dengan lekat, aku tahu ia hanya berbasa-basi. Percakapan
basa-basi itu seperti tanda yang mengharuskan kami menyeduh kenangan, memanggil
masa lalu untuk kembali dicumbu.
“Baru saja.” jawabku
sedikit gugup.
“Kita duduk disana yuk!” ajaknya sambil menunjuk
sebuah meja dengan dua kursi kosong yang berada di sudut ruangan itu.
“Kamu masih ingat kan?”
tanyanya dengan tatapan serius.
Aku sudah menyangka ia akan menanyakan pertanyaan itu lagi. Aku menyembunyikan
rasa gugup, mataku mencari-cari pelayan, mengalihkan suasana yang dingin. Coffe shop itu masih lengang dengan pelanggan
setianya, bau kopi dari coffee maker seakan
menjadi candu untuk selalu kembali pulang ke tempat ini. Tempat yang dulu
pernah menjadi neraka bagi masa laluku. Dan sekarang, aku harus kembali ke waktu
itu. Harusnya aku menuruti apa kata hatiku untuk tidak mengunjungi tempat ini
lagi. Aku hanya berkeinginan untuk merubah paradigma tentang tempat ini dan
masa laluku. Aku kembali, kembali dengan tujuan yang berbeda namun sekarang aku
telah terjebak.
“Eh, ingat...” jawabku sambil melihat ekspresi
wajahnya. Ekspresi yang sangat menggangguku sejak pertama kali melihatnya di tempat
ini lagi. Kutepis dengan diam. Angka 5 yang terpajang di atas meja menjadi
selingkuhan mataku agar tak lagi tergelincir dalam bola matanya. Bola mata yang
menipuku setahun silam.
“Kopi dengan setengah sendok teh gula kan?”
tanyanya padaku, sebagai bentuk pernyataan ia masih mengingat takaran kopi yang
selalu kuminum di tempat ini.
“Kali ini tanpa gula.” jawabku langsung pada waitres yang langsung mencatat apa yang
kupesan.
Ia hanya menghela nafas sambil menatap wajahku yang masih datar-datar
saja sejak tadi.
Aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi, sepertinya diantara kita terlihat
baik-baik saja. “Apakah ia sudah melupakannya? Ah tidak mungkin.” Batinku. Tapi
sebenarnya bukan itu yang kukhawatirkan.
“Ada yang ingin kutanyakan.” Tanyanya dengan alis
mengkerut dan bibir gemetar yang terus dibasahi. Matanya nampak lari menatapku,
seolah sedang berbicara pada karnivora yang siap menerkam.
Aku menghela nafas panjang, baru saja aku berniat untuk mengutarakan
sesuatu, tetapi ia lebih unggul mendahului suasana. “Silahkan.” Jawabku dengan
tenang.
“Kamu tak lagi minum kopi dengan takaran seperti
biasanya? Menolak apapun seperti biasanya? Bahkan sama sekali tak menghadirkan
apa-apa seperti dulu?” ia terus menghujani tanya tanpa sedikitpun memberikan
jeda.
“Aku tidak
bisa minum kopi lagi, kafein sudah terlalu bahaya untuk tubuhku.”
“Lalu, kamu memesan kopi tanpa gula?”
“Untuk apa?” aku memotong sebelum ia
melanjutkannya. “Pasti kamu ingin menanyakan hal itu bukan?”
Wajahnya mengangguk tanpa mengeluarkan kata.
“Aku hanya ingin
menatap kopi itu. Mengingat semua kemanisan di dalam kopi tanpa gula itu.”
Raut wajahnya nampak tak bergerak, larut dalam diam di tengah-tengah
para pelayan yang hingar-bingar itu. Bibirku membuyarkannya, “Bolehkah giliran
aku bertanya?”
Kembali ia mengangguk.
“Kuda laut itu,
kamu masih merawatnya?” tanyaku getir sedikit khawatir.
“Kenapa kamu
bertanya seperti itu?” tanyanya seketika, seolah tak menyangka aku akan
menanyakan hal itu.
Tanganku dingin.
Bibirku mengatup. Hening.
“Aku tahu ia yang memberikannya
padamu, lelaki itu, lelaki yang tidur bersamamu.”
Ia hanya diam. Lalu melepaskan topi yang menutupi rambutnya yang cepak.
Aku hanya bisa menatap angka 5 yang menandai nomor meja itu. Kutatap lekat
dengan pikiran melayang, hingga lamunanku buyar ketika angka 5 itu berubah
menjadi angka 2. Sudah hampir sejam rupanya aku melamun dalam kesendirian di coffee shop ini. Aku sendiri, bersama
rokok yang tergenggam di tangan. Tak ada siapapun, kecuali pelayan kasir yang
duduk termangu. Aku larut dalam lamunan duniaku setahun silam.
--- END ---
Mumet ending ya?
BACA KEMBALI :)
Belum mengerti?
BACA LAGI :)
Masih belum paham?
BACA BERULANG-ULANG :)
Jika tak paham juga, bahkan tak menemukan dan "merasakan" sesuatu di dalamnya, mungkin sudahilah membacanya, hehe.^^
Karena cerpen mini ini cenderung penuh filsafat. Ya, bisa saya katakan filsafat! yang membuat otak pembaca lebih kerja keras untuk bermain analisa.
Sedikit berbicara tentang "black coffee" yuk!
Siapa saja pasti tahu arti dari black coffee? Nah, dari segi judul, cerpen ini sudah memiliki dua sudut pandang yang berbeda. Pertama, dari segi tubuh, yaitu warna kopi yang sudah dipastikan hitam. Kedua, dari segi jiwa, yaitu kenangan didalam kopi. Kenangan yang hitam dan pahit seperti tampilan luar kopi.
Trus?
Jika dari segi judul saja sudah memiliki sudut pandang lebih dari satu, jangan heran dengan isinya! :p
Selamat menyelam kembali!
HAK CIPTA KARYA, by:
(History : Cerpen ini dibuat dengan metode sedikit unik. 3 orang penulis Palu dengan genre yang berbeda-beda, menyatukan satu alur dengan pikiran masing-masing, penuh rahasia, dan saling tebak-menebak. Seru kan?)
Raego Cafe, 3 September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar